Polemik Antara Pengadaan ATM bagi Bank dan Kebutuhan ATM bagi Nasabah

ATM masih menjadi akses transaksi perbankan paling populer bagi para nasabah bank, terutama untuk transaksi tarik tunai. Meskipun saat ini sudah banyak toko retail yang bekerja sama dengan bank untuk melayani tarik tunai, nasabah lebih merasa nyaman untuk bertransaksi melalui ATM. Ditambah lagi, Bank Indonesia (BI) melalui Surat Edaran BI (SEBI) No. 17/51/DKSP tanggal 30 Desember 2015 telah menaikkan batas maksimal penarikan tunai di ATM menjadi Rp 15 juta per rekening per hari dari sebelumnya sebesar Rp 10 juta, untuk kartu ATM dengan chip. Hal ini semakin menguntungkan nasabah untuk melakukan tarik tunai dengan jumlah yang lebih besar tanpa harus pergi ke teller bank seperti sebelumnya. Namun, keberadaan ATM menjadi dilema tersendiri bagi bank. Di satu sisi, bank perlu meningkatkan layanan akses perbankan kepada nasabahnya. Namun di sisi lain, penyediaan ATM menambah beban biaya bagi bank. Biaya pengadaan ATM bisa mencapai 7.000-10.000 dolar per mesin. Nilai tukar rupiah yang semakin menurun akhir-akhir ini turut menghambat bank untuk menambah jumlah ATM-nya. Ini disebabkan tidak adanya ATM buatan lokal. Akibatnya, biaya pengadaan ATM pun melonjak seiring penurunan nilai tukar rupiah. Selain itu, ada biaya-biaya lain yang juga perlu ditanggung oleh bank. Biaya-biaya tersebut diantaranya seperti biaya perawatan, sewa lokasi, penyediaan kas, asuransi, kebersihan dan lain-lain. Total biaya-biaya tersebut bisa mencapai Rp 20 juta per ATM. Polemik terkait biaya ATM nyatanya tidak hanya dihadapi oleh bank-bank di dalam negeri. Negara maju seperti Jepang salah satu contohnya. Perbankan Jepang mulai mengeluhkan biaya perawatan ATM yang menguras dana hingga 2 trilyun yen per tahunnya. Biaya transaksi ATM yang dikenakan kepada nasabah tidak mampu menutup beban biaya pengadaan ATM. Akibatnya, perbankan Jepang mulai mengurangi jumlah...